Jumat, 17 Desember 2010

Permasalahan-Permasalahan Dalam Kewarisan

A.Kewarisan Janin dalam Kandungan
Para ulama Ushul Fikih berpendapat bahwa janin dalam kandungan merupakan orang yang pantas menerima hukum secara tidak sempurna yaitu bila ia hanya pantas menerima hak-hak saja tetapi tidak pantas memikul kewajiban. Oleh karena itu, bayi dalam kandungan ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari pewaris bila telah terdapat sebab dan syarat kewwarisan pada dirinya.1
Meskipun tidak ada petunjuk dari Al-Qur’an tentang persyaratan seorang berhak menjadi ahli waris, namun ulama telah sepakat bahwa seseorang berhak menjadi ahli waris bila pada saat kematian pewaris telah nyata adanya. Para ulama menyatakan bahwa bila janin itu lahir dalam jarak waktu kurang dari enam bulan dari kematian pewaris, jelas ia telah wujud pada saat terjadinya kematian.2
Syarat yang selanjutnya yang ditetapkan oleh ulama adalah bahwa pada waktu lahir bayi itu dalam keadaan hidup. Untuk menetapkan ini terjadi perbincangan dikalangan ulama mengenai apa yang dijadikan ukuran atau tanda untuk menyatakan hidupnya, berkenaan dengan hal ini, ada sebuah hadits Rasalullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
“ Bila telah berteriak anak yang dilahirkan maka ia berhak mewaris”3.
Segolongan ulama yang terdiri dari Ibnu Abbas, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Atha’ Syureih al-Hasan dan Ibnu Sirin dari kalangan sahabat yang kemudian diikuti oleh al-Nakha’i Malik dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur berpendapat bahwa bayi yang lahir itu adalah “istihlal” atau teriakan. Bentuk dan cara lain dari itu tidak dapat menunjukkan kehidupannya. Dalil yang mereka gunakan adalah zahir dari hadits nabi tersebut.4
Golonhgan kedua yang terdiri dari al-Tsauri, al-Auza’i, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, al-Syafi’i, Ahmad dalam riwayat yang lain dan Daud berpendapat bahwa tanda kehidupan itu dapat diketahui dengan teriakan dan juga dengan cara lain seperti gerakan tubuh, menyusu dan petunjuk lain yang meyakinkan.5
Dalam menetapkan terjadinya istiklal terjadi perbedaan pendapat, menurut Imam al-Syafi’i bahwa istihlal itu dilihat pada waktu ia telah lahir secara sempurna. Sedangkan menurut Abu Hanifah bahwa seandainya sebagian besar tubuh janin sudah keluar dari rahim dan mengeluarkan teriakan maka ia sudah berhak mewaris meskipun ia meninggal saat keluar dengan sempurna.6
Janin dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan karena ketidakpastian pada dirinya, sedangkan warisan itu diselesaikan secara hukum bila kepastian sudah ada. Bayi yang lahir dalam keadaan hidup, kemungkinannya menjadi ahli waris ada tiga hal; Pertama, pasti ia ahli waris, seperti yang hamil adalah istri pewaris. Kedua, pasti bukan ahli waris, seperti yang hamil adalah anak perempuannya, karena dalam pandangan ulam ahlu sunah anak dari anak perempuan bukan ahli waris. Ketiga, mungkin ahli waris dan mungkin tidak, karena melihat jenis kelamin pada yang akan lahir, seperti yang hamil adalag istri dari saudara pewaris, karena dal ulama ahlu sunah anak saudara yang menjadi ahli waris hanyalah yang laki-laki.7
Dalam ketidak pastian di atas, cara yang paling aman dan tidak menimbulkan masalah ialah bila masing-masing ahli waris yang telah ada itu bersabar menunggu sampai janin dilahirkan untuk mencari kepastian.8
B.Kewarisan Khunsa
Pengertian al-khunsa (banci) dalam bahasa arab diambil dari kata khanatsa berarti lunak atau melunak. Misalnya apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melengok-lengok. Karenanya dalam hadis shahih dikisahkan bahwa rasulullah bersabda:
“Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.”9
Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha seseorang yang memiliki dua alat kelamin (hermafrodit), bahkan tidak memiliki alat kelamin sama sekali.10
Sehubungan dengan tanda yang ada dan perlunya kepastian, para ulama membagi khunsa dalam dua keadaan. Pertama, khunsa yang bukan musykil yaitu khunsa yang melalui alat yang ada dapat dipastikan jenis kelaminya. Kedua, khunsa yang musykil yaitu khunsa yang dengan segala macam cara pembuktian tidak dapat dipastikan jenis kelaminya.11
Ada tiga pendapat yang masyhur dikalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada khunsa musykil yaitu:
1.Madzhab Hanafi hak waris banci adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya diantara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat imam Syafi’i serta pendapat mayoritas sahabat.
2.Madzhab Maliki berpendapat, pemberian hak maris kepada para banci hendaklah tengah-tengah diantara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudiaan disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak atau bagian banci.
3.Madzhab Syafi’i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedagkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling kuat.12
C.Kewarisan Akibat Li’an
Li’an adalah sumpah dari seorang suami yang menuduh istrinya berzina yang tidak mampu menghadirkan empat orang saksi sebagai penguat dakwaannya.13
Hal yang disepakati oleh ulama bahwa bila kedua belah pihak telah selesai mengucapkan sumpah li’an dan menafikan anak yang dilahirkan, kemudian keduanya telah dipisahkan oleh hakim maka putuslah hubungan kewarisan dengan anak yang lahir dan begitu pula antara suami istri tersebut. Tetapi bila keduanya belum selesai meli’an atau belum dipisahkan oleh hakim dan salah seorang diantara keduanya meninggal dunia atau suami tidak menafikan anak yang akan lahir, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hubungan kewarisan.14
Dalam hal putusnya hubungan kewarisan antara suami istri, jumhur ulama berpendapat hal tersebut terlaksana setelah kedua istri menyelesaikan sumpah li’annya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa terjadinya putus hubungan kewarisan itu semenjak suami telah menyelesaikan sumpah li’annya dan tidak perlu menunggu selesainya istri melakukan li’an. Imam Malik berpendapat bila suami meninggal setelah selesai mengucapkan li’an dan istri tetap meli’an maka putuslah hubungan kewarisan, tetapi kalau istri tidak meli’an sesudah kematian suaminya ia tetap dapat mewarisi. Kalau yang meninggal dunia adalah istri stelah suami meli’an, maka suami dapat mewarisi dari istrinya.15
D.Anak di Luar Pernikahan (Anak Zina)
Anak zina dalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat pernikaha yang sah.
1.Pandangan hukum adat
Bila dipandang dari segi hukum adat, kalau seorang ibu yang tidak nikah melahirkan anak, maka dalam hubungan hukum anak yang lahir itu hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai bapak. Hal semacam ini sangat dicela dalam masyarakat Indonesia, oleh sebab itu selalu diusahakan keras agar hal tersebut jangan sampai terjadi.
Jika itu terjadi maka seorang anak itu hanya dapat mewarisi harta peninggalan ibunya dan keluarga dari ibunya, sebaliknya apabila anak itu yang meninggal maka harta peninggalannya hanya diwarisi oleh ibunya dan keluarga ibunya.16
2.Pandangan hukum Islam
Oleh hukum Islam ditetapkan adanya tenggang waktu sekurang-kurangnya enam bulan antara waktu nikah dan kelahiran anak, dan tengang waktu yang selama-lamanya empat bulan sepuluh hari antara putusnya pernikahan dan kelahiran anak.17
Sebagaimana halnya dalam adat, hukum Islam pun menganggap seorang anak yang lahir diluar pernikahan, hanya mempunyai ibu saja dan tidak mempunyai bapak, juga mengenai soal warisan. Dilihat dari segi hubungan hukum dengan seorang ibu tidak ada perbedaan antara anak yang sah dengan anak yang lahir diluar pernikahan demikian pula mengenai soal warisan.18
3.Pandangan KHI
Menurut Hazairin sama dengan hukum Islam dan hukum adat, walaupun tidak dirincikan, namun beberapa kecenderungan pemikirannya sama,19 sebagaimana dalam pasal 100 bahwa “anak yang diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. 20
E.Anak Angkat
Anak angkat adalah seorang anak bukun hasil keturunan dari kedua orang suami istri, yang dipungut, dirawat serta dianggap oleh orang tua angkatnya sebagai keturunan anaknya sendiri.21
1.Anak angkat menurut pandangan hukum adat
Dalam Hukum Waris adat pada hukum adat yang mewarisi sistem hukum kekeluargaan yang bersifat patrilineal, (adat batak toba) anak angkat memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung, anak angkat masuk dalam hubungan kekerabatan genealogis marga ayah angkatnya.22
Pada masyarakat yang mempunyai sistem hukum yang bersifat matrilineal (hukum adat minangkabau) kedudukan anak angkat tidak sama dengan anak kandung, dan pada hukum adat yang yang mempunyai sistem hukum kekeluargaan yang bersifat parental atau bilateral (adat jawa, melayu) yaitu pada adat jawa anak angkat disebut (ngangsu sumur loro) yaitu mempunyai dua sumber warisan yang berasal dari warisan atau sebagian peninggalan harta orang tua angkat (hibah atau wasiat) dan sebagian dari harta orang tua kandung. Pada hukum adat melayu, anak angkat tidak sama kedudukannya dengan anak kandung, sehingga anak angkat tidak mewaris dari pada harta peninggalan orang tua angkatnya.23
•Anak angkat dapat mewarisi
Di daerah lampung anak angkat yang mewarisi bapak angkat ialah anak angkat tegak tegi penerus keturunan bapak angkatnya, ia bertanggung jawab penuh atas kedudukan dan harta kekayaan bapak ngkatnya itu. Apakah si anak angkat tadi itu tadinya hanya merupakan anak angkat adat atau hanya anak pengakuan seperti disebut anak panutan, anak pupon, anak pungut, anak titip dan sebagainya. Apabila ia telah diangkat dengan resmi dalam upacara adat sebagai anak tegak tegi, maka ia berhak sebagai waris dari bapak angkatnya.24
Di daerah Minahasa orang yang tidak punya anak tetapi ada anak angkat,maka yang ,mewarisi harta peninggalan ayah angkat adalah anak angkat.Begitu pula walaupun ada anak tetapi juga ada anak angkat,maka si anak angkat sama hak mewarisinya dengan anak kandung terhadap harta warisan ayah angkatnya,kecuali terhadap harta kelakeran,oleh karena itu, memerlukan persetujuan para anggota kerabat yang bersangkutan.25
•Anak angkat tidak mewarisi
Di daerah lampung beradat padun tidak dapat menjadi waris disebabkan bukan anak tegak tegi bukan anak angkat dari anggota kerabat sendiri, karena si anak dari perkawinan tidak sejajar, karena asal usul si anak tidak jelas keturunannya, misalnya anak-anak angkat sebagai berikut:
-Anak akkenan (anak akuan) yaitu seseorang yang diaku anak karena belas kasihan dan atau karena baik hati
-Anak pancingan (jawa, anak panutan) yaitu anak orang lain yang diangkat sebagai pancingan agar mendapt anak karena suami istri sudah lama kawin belum memiliki anak disebut anak pupon
-Anak isikan (anak piara) yaitu anak yang dipelihara hidupnya karena susah dan adanya kebutuhan tenaga kerja bagi si pengangkat anak disebut juga anak pungut
-Anak titip, yaitu anak yang dititipkan karena orang tuannya(ibunya) tidak dapat mengurus anak dengan baik,sehingga diserahkan kepada kakek nenek atau kerabat tetangga lain.26
2.Anak angkat menurut pandangan KHI dan Staatsblad
Pengangkatan anak baik mengacu pada KHI maupun mengacu pada Staatsblad 1917 No.129 harus melalui penetapan Pengadilan, yaitu untuk agama Islam mengacu pada KHI ditetapkan pada Pengadilan Agama (PA), sedangkan pada Staatsblad melalui penetapan Pengadilan Negeri (PN). Penetapan PA tidak memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya sehingga tidak perlu dicatatkan atau dirubah akta kelahiran anak angkat itu, sedangkan penetapan PN memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, sehingga harus dicatatkan pada catatan sipil atau perubahan akta kelahiran anak angkat menjadi anak dari orang tua angkatnya.
Akibatnya, Dalam hal kewarisan, menurut KHI anak angkat mendapatkan wasiat wajibah yang tidak boleh lebih dari 1/3 bagian dari orang tua angkatnya (Pasal 209 ayat (2)), sedangkan dalam Staatsblad 1917 No.129 anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan.27
Khusus untuk masyarakat yang takluk pada hukum agama Islam bisa dimungkinkan tidak mengenal anak angkat, karena hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak.28
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH bahwa dibeberapa daerah nampak kedudukan anak angkat dalam masalah warisan tidak bisa disamakan dengan kedudukan anaknya sendiri.29
----------------------
1.Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta; Prenada Media, 2004), hal. 125
2.Ibid
3.Ibid, hal. 126
4.Ibid
5.Ibid
6.Ibid, hal 127
7.Ibid, hal.128
8.Ibid, hal. 130
9.Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1995), hal. 160
10.Ibid,
11.Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta; Prenada Media, 2004), hal. 139
12.Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1995), hal. 162
13.Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta; Prenada Media, 2004), hal. 144
14.Ibid, hal. 144-145
15.Ibid, hal .145
16.Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 65-66
17.Ibid, hal 66-67
18.Ibid, hal 69
19.A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islaam Transformatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal.239
20.http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2010/01/08/5039.html
21.Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 28
22.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 34
23.Ibid
24.Ibid, hal. 36
25.Ibid
26.Ibid, hal. 39
27.http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2010/01/08/5039.html
28.Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 28
29.Ibid, hal. 29

1 komentar:

  1. Titanium trim hair cutter reviews
    T.H. Gold grade 23 titanium has a surgical steel vs titanium perfect base for the delicate growth and beard and is a very good balance. It is a great way cerakote titanium to titanium key ring add a little weight to your $59.99 · stiletto titanium hammer ‎In stock

    BalasHapus