Rabu, 22 Desember 2010

Fasakh dan Khulu’

A. Pengertian Fasakh
Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syara’. Selain itu tidak memenuhi syarat dan rukun, juga perbuatan itu dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi secara umum, batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”.1 
Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Memfasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami istri.2 
B. Pelaksanaan Fasakh
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
1.Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
-Setelah kad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusun pihak suami.
-Suami istri yang masih kecil dan diadakannya nikah oleh selain ayah datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh.
2.Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
-Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtatan yang terjadi belakangan.
-Jika suami yang tadinya fakir masuk Islam, tetapi istri tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang lain ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semunya dipandang sah.3 
Di samping itu, fasakh juga bisa terjadi karena sebab-sebab berikut:
1.Karena mempunyai cacat berupa penyakit yang akut, seperti gila, kusta, epilepsi (ayan), balaqk (penyakit belang kulit), sakit kelamin, impotensi atau ketidak normalan kelamin dengan berbagai bentuk dan macamnya.
2.Suami tidak diketahui rimbanya setelah ditunggu selama empat tahun.
3.Suami yang ternyata tidak memenuhi upaya yang dinyatakan sebelum kawin, seperti mengaku sebagai pegawai negeri, pilot, dokter, dan sebagainya, akan tetapi kenyataanya tidak seperti itu.4 
4.Perkawina yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya. Umpanya: budak dengan merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara, dan sebagainya.
5.Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.
6.suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat Dipercaya, sehingga ia tidak sanggup legi memberi nafkah.5 
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti suami istri masih saudara kandung, atau saudara sesusuan.
Akan tetapi jika terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:
1.Jika tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, mak dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang.
2.Setelah hakim memberi janji kepda suami sekurang-kurangnya tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Juka masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim mefasakhkan dimuka hakim setelah diijinkan olehnya.6 
C. Akibat Fasakh
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika. Sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga. Dapun faskh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, nak ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu juga.7 
Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak istrinya dengan talak raj’i kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatan terhitung satu talak, yang berarti ai masih ada kesempatan dua kali lagi talak.8 
Sedangkan pisahnya suami istri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadi fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.9 
Selama masa pelaksanaan fasakh, laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila istri tidak rela lagi. Kalau siistri mau menunggu, dan ia rela dengan ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu difasakhkan sebab nafkah itu adalah haknya.10 
Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinakan talak ba’in. Kalau suami hendak kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi dengan akad baru. Sedangkan iddahnya sebagai iddah talak biasa.11 
D. Pengertian Khulu’
Kat-kata khulu’, fidyah, shulh, dan mubara’ah, semuanya mengacu pada satu makna, yaitu pemberian ganti rugi oleh seorang perempuan atas talak yang diperolehnya. Hanya saja masing-masing kata tersebut mempunyai arti khusus. Khulu’ adalah pemberian oleh istri kepada suami semua harta yang diberikan oleh suami kepadanya. Shulh adalah pemberian sebagian harta. Fidyah adalah pemberian sebagian besar harta. Mubara’ah adalah penghapusan oleh istri atas suami dari hak-hak yang dimilikinya.12 
E.Pelaksanaan Khulu’
Perceraian dengan cara ini diperbolehkan dalam agama kita dengan disertai beberapa hukum perbedaan dengan talak biasa. Firman Allah SWT:
Artinya: “tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kaleu keduanya khawatir tidakakan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa keduanya tentang bayaran yang telah diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah: 229)13 
Talak tebus ini boleh dilakukan sewaktu suci maupun sewaktu haid, karena biasanya talak tebus ini terjadi dari kehendak dan kemauan istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela maupun menyerahkan iddahnya jadi panjang.14 
Sebagian ulama memperbolehkan talak tebus, baik terjadi karena keinginan dari pihak istri atau dari pihak suami, karena tersebut dalam ayat diatas, yaitu: “Tidak ada halangan atas keduanya”. Sedangkan sebagian ulama berpendapat tidak boleh talak tebus kecuali bila keinginan bercerai itu datang dari pihak istri. Kalau suami ingin bercerai, dia dapat bertindak dengan perceraian biasa, sebab hak talak itu ada di dalam kekuasaannya. Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: “Dan jika kamu ingin menganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambil kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagi kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (suami-istri) telah mengambil kamu perjanjian yang kuat.
(QS. An-Nisa’: 20-21)15 
Adapun faktor-faktor yang dapat dijadikan alsan istri untuk meminta talak tebus adalah seperti karena kebencian istri terhadap suaminya, kalau suaminya ternyata seorang pemabuk, penjudi, perampok, pembunuh dan lain-lain.16 
F. Akibat Khulu’
Dalam hal akibat khulu’, terdapat persoalan, apakah perempuan yang menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Malik berpendapat bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa dapat diikuti tanpa memisah-misahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak.17 
Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum talak, sedang Abu Hanifah berpendapat termasuk hukum nikah. Oleh karena itu, ia tidak membolehkan seorang menikahi perempuan yang saudara perempuannya masih dalam iddah dari talak ba’in.18 
Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum pernikahan, mereka berpendapat bahwa khulu’ tersebut dapat diikuti dengan talak. Sedang fiqaha yang tidak berpendapat demikian, mengatakan bahwa khulu’ tersebut tidak dapat diikuti dengan talak.19 
Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan khulu’ tidak dapat merejuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musyyad dan Ibnu Syihab, keduanya mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil dari istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujuk itu.20 
Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami dapat menikahi mantan istrinya yang dikhulu’ dengan masa iddah dengan persetujuannya. Sedangkan golongan muta’akhirin berpendapat bahwa suami maupun orang lain tidak boleh menikahinya pada masa iddahnya.21 
--------------------------------
1. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 141
2. Ibid, hal. 142
3. Ibid, hal. 142-143
4. Mustafa Kamal, dkk, Fikih Islam (Jokjakarta: Citra Karsa mandiri, 2002), hal. 279
5. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 148
6. Ibid, hal. 149-150
7. Ibid, hal. 272
8. Ibid, hal. 272-273
9. Ibid, hal. 273
10. Ibid, hal. 273-274
11. Ibid, hal. 274
12. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid diterjemahkan oleh Imam ghazali said dan achmad zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hal. 552
13. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), hal. 409
14. Ibid,
15. Ibid, hal. 409-410
16. Mustafa Kamal, dkk, Fikih Islam (Jokjakarta: Citra Karsa mandiri, 2002), hal. 278
17. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 274
18. Ibid,
19. Ibid,
20. Ibid, hal. 274-275
21. Ibid, hal. 274

Tidak ada komentar:

Posting Komentar