Selasa, 06 November 2012

Perkawinan dan Pemenuhan Kebutuhan Biologis dalam Islam


1.Pengertian Perkawinan
Kata nikah atau kawin berasal dari bahasa Arab yaitu “النكاح” dan “الزواج”, yang secara bahasa berarti “الوطئ ” (setubuh, senggama)  dan “الضم” (berkumpul). Secara hakiki nikah bermakna bersetubuh, sedangkan secara majazi bermakna akad.
Ulama Hanafiyah mendefinisikan nikah adalah suatu akad yang memberikan faedah dimilikinya kenikmatan dengan sengaja, yakni menghalalkan seorang laki-laki memperoleh kesenangan (istimta‘) dari wanita. Maksud kata memiliki di sini bukan makna yang hakiki.  Definisi ini menghindari kerancuan dari akad jual beli (wanita), yang bermakna sebuah akad perjanjian yang dilakukan untuk memiliki budak wanita.
Sebaliknya, ulama’ Syafi‘iyah berpendapat bahwa nikah adalah suatu akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau tajwiz atau semakna dengan keduanya. Kata nikah di sini berarti akad dalam arti hakiki.
Abu Zahrah mendefinisikan nikah yaitu akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara kedua orang yang berakad sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yang datangnya dari syara’.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, nikah merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia pertama di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan adalah perjanjian yang bersifat syar‘i yang berdampak pada halalnya seorang lelaki dan perempuan memperoleh kenikmatan dengan pasangannya berupa berhubungan badan dan cara-cara lainnya dalam bentuk yang disyari’atkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja.
 
2.Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu syari’at yang dibawa Nabi Muhammad yang berkenaan dengan penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Secara singkat, tujuan dari perkawinan adalah sebagai berikut:
a)Memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin sehingga timbul kebahagiaan.
b)Memenuhi tuntutan naluri kemanusiaan, yakni kebutuhan biologis.
c)Memperoleh keturunan yang sah. Islam mengenal prinsip menjaga keturunan (hifzu al-nasl), oleh karena itu Islam melegalkan hubungan biologis melalui perkawinan.
d)Memelihara manusia dari berbagai bentuk kejahatan dan kerusakan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 disebutkan bahwa tujuan membentuk sebuah keluarga diwujudkan dengan adanya sakinah yang artinya tenang atau tentram, mawaddah yaitu keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani, dan yang ketiga adalah rahmah, yakni adanya perwujudan kasih sayang yang dalam hal ini berkaitan dengan sifat rohani.
 
3.Peranan Pemenuhan Kebutuhan Biologis dalam Perkawinan
Kebutuhan biologis merupakan salah satu naluri kemanusiaan (garizah insaniyyah) yang secara fitrah diberikan Allah kepada setiap hamba-Nya baik pria maupun wanita. Dan untuk memenuhi tuntutan naluri ini, Allah telah memberikan batasan dan aturan yang legal, yaitu melalui perkawinan.
Seseorang yang melaksanakan perkawinan yang sah, pada dasarnya merupakan suatu bentuk motivasi hubungan biologis yang bertanggung jawab. Hubungan biologis antara suami istri merupakan salah satu pengejawantahan dari ikrar pernikahan yang mereka ucapkan. Bahkan lebih jauh lagi, dengan adanya hubungan biologis sesungguhnya dua belah pihak antara suami istri tersebut telah mengokohkan bangunan rumah tangga dan menguatkan jalinan cinta kasih yang telah mereka bina bersama.
Walaupun bukan termasuk tujuan utama, tetapi pemenuhan kebutuhan biologis memegang peranan yang sangat penting dalam sebuah perkawinan. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan ini maka tujuan lain dari perkawinan dapat terpenuhi juga, seperti terjadinya proses regenerasi, terciptanya suasana penuh cinta dan kasih sayang di antara suami istri, serta mendapatkan kenikmatan yang tiada tara, ibaratnya nikmat yang membawa ke surga.
Pemenuhan hubungan biologis sebenarnya bukan sekedar menyalurkan hawa nafsu duniawi dalam mencari kesenangan antara suami istri semata, akan tetapi dapat menjadi sarana untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah, pemeliharaan diri dari perbuatan yang diharamkan (melakukan zina) dan mewujudkan tujuan Allah menciptakan manusia yakni regenerasi kehidupan umat manusia yang mampu memakmurkan bumi-Nya.
Pemenuhan kebutuhan biologis dapat dijadikan tolok ukur dalam penentuan bahagia tidaknya pasangan suami istri dalam sebuah keluarga. Apabila kebutuhan biologis ini disalurkan dengan penuh rasa cinta dan memberikan kepuasan kepada suami maupun istri, maka sangat besar daya gunanya dalam memberikan perasaan bahagia bagi kedua belah pihak.
Dampak kepuasan dari pemenuhan kebutuhan biologis ini akan menjadi modal berharga bagi suami istri untuk membina dan mempertahankan perjalanan biduk rumah tangga yang penuh romantika. Dengan demikian tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa pemenuhan kebutuhan biologis antara suami istri merupakan faktor utama demi terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Bukti nyata dari terpenuhinya kebutuhan biologis ini adalah adanya kepuasan seksual dari kedua belah pihak baik suami maupun istri. Apabila kebutuhan biologis ini tidak terpenuhi maka akan menimbulkan dampak negatif yang kompleks dalam perkawinan, misalnya adanya kekecewaan dari salah satu pihak, adanya trauma psikologis yang menyebabkan berkurangnya gairah seksual, berkurangnya frekuensi melakukan hubungan biologis, sehingga dengan berbagai alasan tersebut terdapat kemungkinan akan terjadi kemalasan dan kebosanan yang berasal dari salah satu atau kedua pihak.
Suasana seperti ini tentunya akan mengikis rasa cinta dan kasih sayang antara suami istri yang dapat mempengaruhi atmosfer rumah tangga menjadi dingin dan hampa. Sehingga tujuan dari perkawinan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah tidak dapat terwujud. Apabila hal ini terjadi, maka pondasi rumah tangga akan semakin retak. Dan lebih jauh lagi situasi dan kondisi seperti ini sangat memungkinkan tatanan rumah tangga akan berakhir dengan perceraian.
Mengingat tujuan perkawinan sangat mulia, yaitu untuk membina rumah tangga yang bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan demikian sangatlah tepat apabila Islam menyebutkan bahwa salah satu di antara hak dan kewajiban suami istri adalah memberikan sekaligus mendapatkan kepuasan dan kenikmatan seksual ketika berhubungan badan. Karena apabila hak dan kewajiban masing-masing pihak dari suami maupun istri tertunaikan maka akan terwujud keluarga yang bahagia.

Daftar Pustaka
Abdul al-Rah}man Al-Jaziri, 2004, al-Fiqh ‘Ala Maz|ahib al-‘Arba’ah Juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah
Abu Zahrah, 1958, al-Ahwal al-Syakhs{iyah, Dar al-Fikr al-‘Arabi
Abd. Rahman Ghazaly, 2008, Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana
Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam: Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Al-Gazali, Adab an-Nikah, terj. Muhammad Al-Baqir, Menyingkap Hakikat Perkawinan Cet. IX, Bandung: Karisma
Hasan Basri, 1995, Keluarga Sakinah: Tinjauan Psikologi dan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muhammad Ashim, 2010, Nikah Sirri, Mut’ah dan Kontrak dalam Timbangan Al-Qur’an dan al-Sunnah, Jakarta: Darul Haq
Rahman Sudirman, 1999, Konstruksi Seksualitas Islam dalam Wacana Sosial: Peralihan Tafsir Seksualitas, Yogyakarta: Media Pressindo
Wahbah al-Zuhaili, 1997, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu Juz IX, Damaskus: Dar al-Fikr
Ahmad Warson al-Munawwir, 1997, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Katalog dalam Terbitan, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid III, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve

Tidak ada komentar:

Posting Komentar