Rabu, 17 Oktober 2012

Perjanjian Perkawinan Tentang Larangan Bagi Suami Untuk Berpoligami


A. Kedudukan Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam BAB V pasal 29, yaitu sebagai berikut:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari bunyi pasal ini sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam pasal 29 ini lebih sempit karena hanya meliputi perikatan yang bersumber dari persetujuan (perjanjian) saja dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi perikatan yang bersumber pada undang-undang.  Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya taklik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah.  Hal ini sebagaimana penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak.
Selanjutnya menurut Henry Lee A Weng di dalam disertasinya menyatakan bahwa perjanjian perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Dari pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, perjanjian perkawinan itu:
1. Persetujuan perjanjian perkawinan tersebut diperbuat secara tertulis.
2. Perjanjian perkawinan tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
3. Sejak pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, isi ketentuan perjanjian tersebut menjadi sah kepada suami isteri dan juga terhadap pihak ketiga, sepanjang isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga.
4. Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan dilangsungkan.
5. Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah selama perkawinan, jika perubahan tersebut dilakukan secara sepihak. Tetapi jika perubahan atas kehendak bersama maka dapat dilakukan.
6. Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan perjanjian itu melanggar batas-batas hukum Agama dan kesusilaan.
Adapun Menurut Sayyid Sabiq sifat perjanjian itu dapt dibedakan menjadi:
1. Syarat yang wajib dipenuhi, yaitu yang termasuk dalam rangkaian dan tujuan perkawinan dan tidak mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya. Misalnya: mensyaratkan untuk menggauli istri dengan baik, memberikan belanja, pakaian, dan tempat tinggal yang pantas, tidak membelanjakan harta suaminya kecuali dengan izinnya dan lain sebagainya.
2. Syarat yang tidak wajib dipenuhi, yaitu syarat yang menyalahi hukum perkawinan, seperti: suami mensyaratkan untuk tidak memberi belanja, tidak mau bersetubuh atau kawin tanpa mahar dan lain sebagainya.
3. Syarat-syarat yang menguntungkan isteri seperti: suami tidak boleh menyuruh isterinya keluar dari rumah atau kampung halamannya, bepergian dengannya (isteri) atau istri tidak mau dipoligami. Ulama sepakat akan sahnya perkawinan dengan syarat semacam ini akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya memenuhi syarat yang telah diperjanjikan. Ikhtilaf tersebut antara lain:
a. Madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan sebagian besar ulama’. Menurut mereka syarat-syarat tersebut tidak berlaku dan suaminya tidak harus memenuhinya. Alasan mereka sebagai berikut:
1) Sabda Rasulullah Saw:
المسلمون على شروطهم، إلا شرطا أحلّ حراما أو حرّم حلالا
Orang Islam itu terkat dengan syarat mereka kecuali kalau syarat tadi menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal
Menurut pendapat pertama poligami, melarang pergi dari rumah, dan pergi bersama dihalalkan oleh agama sehingga perkawinan dengan syarat tidak dipoligami, tidak boleh melarang keluar, atau pergi bersama sebagaimana disebutkan di atas samahalnya dengan mengharamkan sesuatu yang haram.
2) Sabda Rasulullah Saw:
كلّ شرط ليس فى كتاب الله فهو باطل وإن كان مأة شرط
Tiap-tiap syarat yang tdak ada dalam kitab Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat
Mereka mengatakan bahwa syarat-syarat tersebut tidak ada dalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya dalam agama.
3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak mengandung kemaslahatan dalam perkawinan dan tidak pula termasuk dalam rangkaiannya.
b. ‘Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi Waqash, Mu’awiyah, Amru bin Ash, ‘Umar bin Abdul Azis, Jabir bin Zaid, Thawus, Auza’i, Ishaq, dan golongan Hanbali. Menurut mereka apa yang sudah disyaratkan kepada isterinya wajib dipenuhi. Alasan mereka sebagai berikut:
1) Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1:
Wahai orang-orang yang beriman! Sempurnakan janji-janjimu
2) Sabda Rasulullah Saw:
المسلمون على شروطهم
Orang Islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian) mereka
3) Hadits Bukhari, Muslim dan lain-lain yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah Saw. Bersabda:
أحقّ الشّروط أن يوفّى به ما استحللتم به الفروج
Perjanjian yang paling patut ditunaikan yaitu yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu
4) Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya sendiri bahwa pernah ada seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan dengan janji tetap tinggal dirumahnya (perempuan), kemudian suminya bermaksud mengajaknya pindah, lalu keluarganya mengadukan perkara ini kepada ‘Umar bin Khattab, maka ‘Umar memutuskan bahwa perempuan itu berhak atas janji suaminya. (Hak suami atas isteri batal karena ada perjanjian).
5) Janji-janji yang diberikan oleh suami kepada isterinya mengandung manfaat dan maksud, asalkan maksudnya tadi tidak untuk menghalangi perkawinan maka sah hukumnya sebagaimana kalau perempuan mensyaratkan agar suaminya mau membayar maharnya lebih tinggi.
Ibnu Qudamah menguatkan pendapat yang kedua dan melemahkan pendapat yang pertama. Beliau mengatakan bahwasanya para sahabat pada masanya tidak ada yang berbeda pendapat mengenai syarat ini, bahkan sudah menjadi ijma’.
Lebih lanjut Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa Sabda Rasulullah (كلّ شرط ليس فى كتاب الله فهو باطل) maksudnya adalah syarat yang tidak ada dalam hukum Allah dan agamanya. Padahal masalah ini hukumnya boleh sebagaimana telah djelaskan olehnya di atas beserta dalil-dalilnya. Mengenai perkataan mereka yang mengatakan bahwa perjanjan seperti di atas itu mengharamkan yang halal, maka dijawab oleh Sayyid sabiq bahwa maksudnya bukanlah untuk mengharamkan yang halal akan tetapi untuk memberikan kepada perempuan hak meminta fasakh jika suami tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Dan perjanjian semacam ini bukanlah perjanjian yang tak ada maslahatnya, bahkan merupakan maslahat bagi si isteri, karena apa yang bisa menjadi maslahat bagi satu pihak yang berakad berarti pula menjadi maslahat di dalam akadnya.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebab perbedaan pendapat di atas adalah karena mempertentangkan dalil yang umum dengan dalil yang khusus. Dalil yang umum yaitu hadits ‘Aisyah (...كلّ شرط ليس فى كتاب الله فهو باطل) dan dalil yang khusus yaitu hadits ‘Uqbah bin ‘Amir (....أحقّ الشّروط أن يوفّى به). kedua hadits ini sahih dan kedua-duanya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi menurut ahli ushul fiqh yang masyhur terpakai adalah memenangkan dalil yang khusus, yaitu memenuhi janji-janj yang diadakan dalam perkawinan.
4. Syarat-syarat yang dilarang agama
Syarat-syarat yang oleh agama dilarang dan diharmkan untuk menepatinya, yaitu perempuan yang mensyaratkan kepada suaminya agar mentalak madunya.

B. Hak Poligami bagi Suami dengan Adanya Perjanjian Perkawinan
Pada dasarnya Praktek Poligami diperbolehkan oleh agama dan negara. Meskipun di Indonesia dalam hal perkawinan menganut asas monogami. Berkenaan dengan poligami, Allah SWT. berfirman:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 juga mengatur tentang praktek poligami. Dalam pasal 3 ayat (2) yang berbunyi, “Pengadilan dapat memberi izin kelpada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan”. Kompilasi Hukum Islam pada pasal 55 juga mengatur tentang poligami. Isi pasal tersebut menjelaskan bahwa praktek poligami hanya diperbolehkan terbatas sampai empat istri dan suami dapat berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.
Hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaanya agar poligami dapat dilaksanakan, akan tetapi di Indonesia teknis tentang pelaksanaan poligami sudah tertata rapi tersirat dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Komplasi Hukum Islam.
Adanya perjanjian perkawinan untuk tidak berpoligami merupakan hak istri dan syarat seperti itu sah. Muhammad Hasbi Ash Siediqiy berpendapat pada keharusan memenuhi segala syarat yang manfaatnya kepada wanita, sehingga dia mau dinikahi.
Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa suami mempunyai tanggung jawab kepada isterinya. Artinya, isteri telah mensyaratkan kepada suami untuk menepati janji yang telah diucapkan atau ditepati pada waktu akad nikah, bila tidak ditepati, maka suami akan melanggar hak isteri atau suami meniggalkan kewajiban.
Perjanjian untuk tidak berpoligami ada sedikit perbedaan pendapat mengenai kebolehannya. Sebagaimana tertulis dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i berpendapat, “sebuah persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal, karena Rasulullah SAW, membatalkan setiap persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal, beliau juga beralasan bahwa Allah Swt menghalalkan kepada seorang laki-laki mengawini empat orang wanita, apabila isterinya mensyaratkan padanya. Bahwa suami tidak boleh kawin lagi, maka isteri itu melarang hak suami tentang apa yang telah dilapangkan oleh Allah SWT kepadanya”.
Kami sebagai pemakalah berpendapat bahwa keberadaan perjanjian untuk tidak berpoligami merupakan suatu yang absah, sehingga hak poligami bagi sang suami terhalang dengan adanya perjanjian tersebut. Pada hakikatnya perjanjian tersebut disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi, antara suami dan istri pasti memahami konsekuensinya. Janji-janji yang diberikan oleh suami kepada isteri, begitu pula sebaiknya terdapat manfaat dan maksud, yang asalkan maksudnya tadi tidak menghalangi tujuan substansial perkawinan, maka sah hukumnya.
Ketika adaperjanjian untuk tidak berpoligami dianggap mengharamkan suatu yang halal, pemakalah mencoba mengutip pendapat Ibnu Qudamah, beliau berpendapat, “bukan mengharamkan yang halal, akan tetapi maksudnya untuk memberikan kepada perempuan hak meminta fasakh bila mana si suami tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya”. Dan jika ada yang menganggap bahwa hal itu tidak ada maslahatnya, Ibnu Qudamah berpendapat, “hal itu merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuannya. Karena apa yang bisa menjadi suatu maslahat bagi satu pihak yang mengadakan akad berarti pula menjadi suatu maslahat didalam akadnya”.

C. Akibat Pelanggaran Perjanjian Perkawinan

Setiap perjanjian harus ditepati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagaimana firman Allah yang artinya sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janjimu”. (Q.S. Al Maidah: 1)
Perjanjian yang dilanggar, pasti ada konsekuensi yang diterima. Dalam hal pelanggaran perjanjian untuk tidak berpoligami, Sayid Sabiq berpendapat bahwa ketika penjanjian untuk tidak dimadu itu dilanggar, maka si istri berhak menuntut fasakh kepada sang suami.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 51 yang menjelaskan tentang pelanggaran suatu perjanjian perkawinan, “pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama”.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamdani . Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 1989
Idris Asyafi’i, Muhammad Ibnu. al-Umm. Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1973
Meliala, Djaja S. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2008
Nuruddin, H. Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004
Ahmad Rofiq,  Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Sayyid Sabiq,  Fiqh Sunnah Juz II. Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, 2006
Tutik, Titik Triwulan dan Trianto. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar