Jumat, 24 Desember 2010

Asas Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia

Dalam hukum Islam terdapat asa-asas hukum yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hal tersebut juga dikuti oleh para Ulama Indonesia dalam menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Di dalam KHI juga diatur mengenai hukum kewarisan Islam yang berlaku di Indonesia. Adapun prinsip dan asas hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Asas Ijbari
Asas ijbari sera harfiah bearti memaksa. Asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid yang mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak si pewaris atau ahli warisnya,maksudnya tanpa ada perbuatan hukum pernyataan dari si pewaris. Dengan kata lain, dengan adanya kematian si pewaris secara otomatis hartanya akan beralih pada ahli warisnya. Unsur memaksa dalam hukum waris ini karena kaum muslimin terkait untuk taat kepada hukum Allah sebagai konsekuensi logis dari pengakuannya kepada ke Maha Esa-an Allah dan Kerasulan Muhammad seperti dinyatakan melalui dua kelimat sahadat.
Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari tiga segi, yaitu:
a. Dari segi peralihan harta
Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7 sebagai berikut:
Artinya: bagi orang laki-laki dan hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peningalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit auat banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
b. Dari segi jumlah harta yang beralih
Al-Qur’an telah mengariskan secara rinci seperangkan ayat-ayat hukujm kewarisan antara lain surat An-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176. Dalam ayat-ayat tersebut telah ditentukan porsi atau bagian secara pasti (muqoddar) bagi masing-masing ahli waris sebagai dezawil furudl yang dinyatakan dengan angka-angka pecahan yaitu: 1/8, 1/6, ¼, 1/3, ½ dan 2/3. Disamping itu ada bagian besaran yang tidak pasti yang disebut dengan al-Ashobah. Asobah adalah besaran sisa bagian setelah diambil besaran bagian yang pasti oleh dzawil furudl sesuai dengan ketentuan masing-masing.
c. Dari segi kepda siapa harta itu beralih
Al-Qur’an telah menentuakan sekurang-kurangnya lima kategori ahli waris yaitu:
- Anak laki-laki dan perempuan (Q.S An-Nisa’ ayat 7, 9, dan 11)
- Bapak-ibu (Q.S An-Nisa’ ayat 11)
- Suami/istri (duda/janda) (Q.S An-Nisa’ ayat 12)
- Saudar jika tidak ada anak (Q.S An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176)
- Mawali (waris penganti) (Q.S An-Nisa’ ayat 33)
2. Asas bilateral
Artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat perempuan, atau dengan kata lain jenis kelaminbukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi. Asas ini dapat dijumpai dasar hukumnya dalam A-qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176 yang penjelasannya sebagai berikut:
a. Ayat 7 surat An-Nisa’
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang laki-laki mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga perempuan ia berhak mendapat warisan dari kedua orang tuanya.
b. Ayat 11 surat An-Nisa’
Ayat ini menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
- Anak perempuan berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua orang anak perempuan.
- Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam. Demikian juga ayah berhak menerima warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.
c. Ayat 12 surat An-Nisa’
Ayat ini menjelaskan bahwa:
- Bila anak laki-laki mati punah, maka saudaranya yang laki-laki yang berhak atas harta peningalannya, juga saudaranya yang perempuan berhak mendapatkan harta warisannya itu.
- Bila pewaris yang mati punah itu seorang perempuan, maka saudaranya baik laki-laki maupun perempuan berhak menerima warta warisannya.
d. Ayat 176 surat An-Nisa’
Ayat ini menyatakan bahwa:
- Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan itulah yang berhak menerima harta warisannya.
- Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki itulah yang berhak menerima harta warisan.
3. Asas individual
Artinya harta waris dapat dibagi-bagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan, dalam melaksanakan ini seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar masing-masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat pada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing telah ditentukan. Dalam sistem hukum Islam yang dimaksud asas individual adalah harta peninggalan yang ditingal mati oleh si yang meninggal dunia dibagi secara individual yakni secara pribadi kepada masing-masing. Jadi bukan asas kolektif seperti yang dianut dalam sistem hukum yang terdapat di Minangkabau, bahwa harta pusaka tinggi itu diwarisi bersama-sama oleh suku dari garis pihak ibu.
Ketentuan asas individual ini dapat dijumpai dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7 yang secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya terlepas dari itu ada jumlah tersendiri. Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah bagian untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya harta yang ditinggalkan. Sebaliknya, harta itu tunduk kepada ketentuan yang berlaku.
Pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi yang berat diakherat bagi yang melanggarnya sebagaiman yang dinyakan Allah SWT dengan surat An-Nisa’ ayat 13 dan 14.
Diantara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk bertindak atas hartanya (seperti belum dewasa), maka harta warisan yang diperoleh berada dibawah kuasa walinya dan dapat dipergunakan untuk belanja kebutuhan anak tersebut. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 5 yang menyatakan tidak bolehnya menyerahkan harta warisan kepada seseorang yang dalam keadaan safih yaitu orang yang dalam ayat ini berarti belum dewasa.
4. Asas keadilan yang berimbang
Artinya harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Misalnya laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing kelak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Asas keadilan atau keseimbangan disini mengandung arti bahwa harus senantiasa dapat seimbang antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang dipikulnnya. Dalam hukum kewarisan Islam, harta peningalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris harus berimbang denag perbedaan tanggung jawabmasing-masing terhadap keluarganya. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, yakni mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya menurut kemampuannya. Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakan, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anak memerlukan bantuan atau tidak, terhadap kerabat lain tanggung jawab seseorang laki-laki juga ada.
Tanggung jawab perempuan dan laki-laki sangat berbeda, tanggung jawab perempuan tidak seberat tanggung jawab laki-laki terhadap keluarganya. Perempuan justru harus menerima infaq, tempat tinggal, dan nafkah lainnya dari suaminya. Dengan demikian, manfaat yang dirasakan oleh laki-laki dan perempuan dari harta peninggalan yang mereka peroleh adalah sama. Dapatkah dipahami rasa keadilan hukum Islam dalam kewarisan dimana bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan itu didasarkan atasperbedaan tanggung jawab yang hakikatnya masing-masing sama dari perbedaan pembagian tersebut.
5. Asas waratsa
Waratsa dalam Al-Qur’an mengandung pengertian makna peralihan harta setelah kematian. Asas waratsa ini menyatakan bahwa kewarisan itu hanya ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan dalam hukum Islam itu semat-mata sebagai akibat dari kematian seseorang.
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang merupakan kewarisan itu hanya terjadi bila orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan sebutan sebagai harta warisan selama orang yang mempunya harta itu masih hidup. Asas ini sekaligus menolak asas kewarisan testament yang dianut dalam asas hukum perdata barat.
Ketentuan kewarisan dalam kompilasi Hukum Islam hanya kan terjadi kalau pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli waris benar-benar hidup pada saat meninggalnya pewaris tersebut, dalam hal ini ada dua macam meningalnya pewaris yaitu:
a. Meninggal secara hakiki yaitu hakikat yang sdapat dipersaksikan bahwa pewaris telah benar-benar meninggal dunia.
b. Meninggal secara hukmi yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan meninggal itu tidak dapat disaksikan kematiannya tetapi karena dengan kuat tentang hal itu telah terjadi maka supaya ahli waris tidak ternanti-nanti dalam hal ketidak pastian hukum kewarisan dan kepemilikan harta mereka dapat meminta ke pengadilan agama untuk menetapkan matinya pewaris secara hukmi. Hal ini bisa terjadi karena lamanya pewaris tidak pulang, untuk mencapai kepastian hukum seperti ini maka pengadilan dapat memberikan keputusan. Hal ini sejalan dengan maksud pasal 171 KHI. Dengan demikian persoalan kematian dalam Islam dalah menjadi hal yang sangat menentukan dan akan menciptakan hukum baru, bahkan menjadi kajian yang strategis. Dalam kaitanya dengan penetapan rentetan hukum berikutnya.
6. Asas tsulutsaimal
Asas tsulutsaimal menyatakan bahwa wasiat tidak boleh melebihi sepertiga darai harta peningalan. Pelaksanaan tasa tsulutsaimal ini harus didasarkan kaidah tidak ada hak menerima wasiat, kecuali para ahli warismembolehkannya.
------------------------------------
Daftar Pustaka
S. Praja, DR. Juhaya, 1995, Filsdafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbit Universitas LPPM
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Tinatamas
Sjadzali Munawir, dkk, 1988, Pomik Ajaran Islam cet. 1, Jakarta: Pustaka Punjimas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar